Oleh : Ali Sodikin
A. SBY dan Partai Demokrat
Keberhasilan Partai Demokrat
menjadi partai pemenang pada Pemilu Legislatif tahun 2004 dan 2009 tidak bisa
dipisahkan dari keberhasilan dan gaya kepemimpinan sosok SBY sebagai Ketua
Dewan Pembinanya yang sekaligus sebagai salah seorang pendirinya. Sejarah
partai ini tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY
yang dari awal telah menggagas, mengusung dan mendirikan partai dengan
ideologi Nasionalis-Religius. Sebagai partai jalan tengah yang berpihak pada
nilai-nilai partai yang tidak berhaluan kiri maupun kanan. Ideologi
nasionalis-religius, hal ini bermakna sebagai kerja keras untuk kepentingan
rakyat dengan landasan moral dan agama serta mempertimbangkan
humanism-pluralisme dalam mencapai tujuan perdamaian demokrasi dan
kesejahteraan.
Tidak bisa dipungkiri, kemajuan
partai yang baru berusia belasan tahun, pencapaian tersebut merupakan prestasi
yang fenomenal. Faktor terbesarnya adalah Karena figur SBY yang menjadi simbol
hidup dan tauladan partai. Tokoh yang muncul sebagai produk sejarah telah
membawa Partai Demokrat menjadi partai besar dan sekaligus menjadikan SBY
Presiden dua periode melalui pelpres langsung pertama dalam sejarah
perpolitikan Indonesia.
Figur SBY yang santun, cerdas,
bersih dan demokratis mampu membuat Partai Demokrat melesat hanya dalam waktu
kurang dari 10 tahun menjadi partai yang besar, bahkan mampu menandingi
partai-partai besar yang telah ada sejak puluhan tahun silam, yakni Partai
Golkar, PDI Perjuangan dan PPP.
Cikal bakal mengapa SBY
mendirikan Partai Demokrat adalah pelajaran dari kekalahannya menjadi Wapres,
bahwa untuk terjun ke politik harus menjunjung norma dan etika demokrasi. SBY
tidak bisa mengandalkan anugerah atau privilege yang diberikan kekuasaan. Ia
harus berjuang melalui partai. Yang kedua, untuk mencalonkan diri sebagai
Presiden atau Wapres, SBY harus memiliki basis partai politik. Untuk maju
dengan mengunakan partai yang sudah besar dan mapam tidaklah mudah, karena
mereka telah memiliki calon masing-masing. Artinya, siapapun yang mempunyai
cita-cita di masa mendatang untuk mencalonkan diri sebagai Presiden dan Wapres,
akan lebih nyaman, kalau memiliki basis partai politik sendiri. Pikiran inilah
yang mendasari SBY untuk membidani kelahiran Partai Demokrat.
Dengan mengusung jargon politik bersih, cerdas dan
santun, serta gerakan anti korupsi yang dikampanyekan selama Pemilu 2009,
perolehan suara Partai Demokrat terdongkrak lebih dari dua kali lipat dibanding
perolehan suara pada pemilu 2004. Dan SBY sebagai Ketua Dewan Pembina kembali
terpilih menjadi Presiden untuk periode kedua. Hanya dengan satu putaran
SBY-Budiono memperoleh suara sebanyak 73.874.562 atau 60,80 persen.
B. Pasang Surut Popularitas SBY dan Partai Demokrat
Meski pada akhirnya, SBY mampu
membawa suara Partai Demokrat naik hampir tiga kali lipat pada Pemilu
Legislatif tahun2009, dari 7,45 persen menjadi 20,85 persen perolehan suara dan
sekaligus menjadikan dirinya Presiden untuk kedua kalinya berpasangan dengan
Budiono, bahkan yang terakhir merupakan kemenangan fenomenal hanya dengan satu
putaran mampu meraih suara dukungan rakyat sebanyak 73.874.562 atau 60,80
persen.
Namun, perjalanan politik SBY dan
Partai Demokrat tidak selalu mengalami jalan mulus dan mudah. Status dan
kinerja SBY sebagai Presiden sangat mempengaruhi pasang surut partai. Menurut
hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada September 2007 yang
dirilis Suara karya popularitas SBY merosot tajam hingga angka 35,3 persen.
Padahal, di awal pemerintahannya popularitas SBY sempat mencapai amgka 80
persen. Banyak kalangan menilai selama kurun waktu 2004-2007, SBY telah gagal
melakukan perbaikan dan peningkatan, baik di bidang ekonomi, politik, hukum,
penanggulangan kemiskinan dan pengangguran serta penanganan keamanan. Hanya
13,4 persen pemilih yang menganggap gerakan antikorupsi SBY itu adil, semua
kasus diperiksa dan diperlakukan sama. Bahkan hanya 39,3 persen pemilih yang yakin
akan kemampuan SBY dalam menangani masalah bangsa.
Sementara hasil survei yang
dirilis CSIS 24 Juli 2008 dari hasil survei 11-17 Mei 2008 tentang perilaku
pemilih Indonesia, Partai Demokrat hanya
menempati urutan nomor lima. Untuk dukungan terhadap partai politik di berbagai
kelompok masyarakat, 70 persen pemilih Indonesia sudah menentukan pilihannya.
Dan PDI-P merupakan partai politik yang saat ini memperoleh dukungan terbanyak
(20,3 persen). Diikuti Partai Golkar, PKS, PKB,
dan Partai Demokrat.
C. Sosok SBY dan Pemikiran Kebangsaan
SBY lahir tanggal 9 September
1949 di Pacitan Jawa Timur dari keluarga tentara. Putra tunggal R. Soekotjo dan Siti Habibah. Sebagai lulusan
terbaik Akabri Darat 1973, SBY langsung bergabung dengan kesatuan elit Kostrad
sebagai komandan peleton tiga di Kompi Senapan A Batalyon Lintas Udara 330/Tri
Dharma Brigif Linud 17/Kujang I.
Selanjutnya menjadi komandan
peleton mortir 330, Pasi 2/Ops Mabigif Linud 17, Komandan Kompi Senapan C Yonif
Linud 330/Tri Dhrama, Komandan Yonif 744 pemukul Kodam Udayana di Timor Timur.
Komandan Brigif 17/Kujang I Kostrad.
Komandan Korem 073 Kodam IV/Diponegoro di Yogyakarta. Setelah menjadi Perwira
PBB di Bosnia, SBY menjadi Kepala Staf Kodam Jaya tahun 1996, 23 Agustus 1996
SBY menjadi Panglima Kodam II/Sriwijaya di Pelembang. 26 Agustus 1997, SBY
menjadi Assospol-Kassospol ABRI. 12 Februari 1998 menjadi Kassospol ABRI.
Jabatan militer terakhir SBY adalah Kepala Staf Teritorial ABRI.
Pemikiran SBY tentang politik
kebangsaan dan kepemimpinan selain dipengaruhi dari latar belakang pendidikan
dan penugasan di militer, namun juga dari para pemikir lainnya semisal Alvin
Toffler. Interaksi SBY dengan Futurolog tersebut ketika menjadi Dosen Militer
di Seskoad tahun 1990-an. Bersama Letkol Agus Wirahadikusumah mendirikanCenter
of Exelence. Bersama Kolonel Luhut Panjaitan, SBY mendatangkan Alvin Toffler ke
Seskoad untuk menjadi pembicara dalam seminarPowership and the Military di
Bandung.
D. Gaya Komunikasi SBY
Menurut John Baldoni dalam
pengantar buku Great Communication Secrets of Great Leaders (2003), “ So in
every real sense, leadership effectiveness, both for presidents and for anyone
in a position of authority, depends to a high degree upon good communications
skills”. keberhasilan seorang pemimpin, termasuk presiden, seseungguhnya sangat
ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Melalui komunikasi, pemimpin
membangun trust (kepercayaan) pada rakyat atau pengikutnya. Trust, menurut
Crossman, seorang ahli propaganda-merupakan modal utama pemimpin. Jika rakyat
percaya pada pemimpinnya, mereka biasanya akan mendukung
kebijakan-kebijakannya. Pemimpin yang mampu melahirkan kepercayaan, besar
kemungkinan juga mampu menggalang kerja sama, bahkan dengan unsur-unsur
masyarakat yang selama ini bersikap sinis terhadap kepemimpinannya sekalipun
(Gardener, 1990:33).
Tjipta Lesamana, memaparkan
secara detail bagaimana gaya dan pola
komunikasi SBY. Tjipta menggambarkan SBY adalah sosok yangperfectionist,
misalnya jika SBY tampil di publik, apalagi di tengah sorotan puluhan kamera
wartawan, maka penampilannya sangat diperhatikan. Busana yang dandy, rambut
yang disisir rapi, wajah ceria penuh senyum, tutur kata yang tertata rapi,
seolah dikemas sangat prima sehingga nyaris “tidak ada cacat”.
Secara garis besar Prof. Tjipta
Lesmana menilai SBY seorang demokratis,
menghargai perbedaan pendapat tetapi selalu defensif jika dikritik. SBY ultra hati-hati dalam
segala hal sehingga terkesan bimbang dan ragu. Konteks bahasa : antara tinggi
dan rendah, tetapi kecenderungannya tinggi. Sebagai seorang perfectionist, SBY
selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna.
Kata dan kalimat diucapkan jelas sekali, diperkuat oleh intonasi dan suara yang
mantap.
E. Gaya Kepemimpinan SBY
Gaya kepemimpinan SBY oleh para
pengkritinya, dianggap lamban, peragu dan sebagainya. Namun menurut Juwono
Sudarso, kepemimpinan SBY adalah model rekontruktif. SBY sebenarnya ingin
berperan sebagai rekonsiliator di panggung Indonesia karena melihat luka-luka
dan hiruk-pikuk reformasi sejak Mei 1998 itu (telah) menimbulkan kegaduhan
sehingga perlu diturunkan suhunya. Self-image-nya sebagai rekonsiliator
mengharuskan SBY merangkul semua pihak. Ia berupaya keras untuk tidak
menciptakan musuh. Sebaliknya, SBY terkesan kuat ingin membahagiakan semua
orang.
Lebih lengkap bagaimana gaya
kepemimpinan SBY dapat ditelusuri dari catatan Dr. Dino Patti Jalal dalam
catatan hariannya Seni Memimpin A la SBY. Setiap pemimpin mempunyai sisi
penampilan luar dan sisi dalam. Di luar ia bisa tampak tenang, walaupun ia
konflik batin. Di luar ia bicara kemenangan, dalam hati berfikir mengenai
resiko. Sisi luar SBY sudah banyak disorot media. Yang belum banyak diketahui
adalah apa yang terjadi di belakang layar, dan di dalam kantor Prsiden. Dino
mendapat berkah ‘the best seat in the class of history’, dapat menyaksikan
langsung Presiden SBY dari samping dan belakangnya, membaca raut muka, melihat
tetesan keringat, mengikuti liku-liku proses pemikirannya, dan memahami resiko
yang diambilnya.
F. Memimpin Dalam Krisis; Menangani Bencana Tsunami Aceh
1. Dalam Krisis Pemimpin Harus Selalu Di Depan.
Bencana tsunamai Aceh memakan
ratusan ribu korban jiwa, kerugian ratusan miliar rupiah, serta kerusakan
struktur dan infrastruktur pemerintah daerah
yang sangat parah. Saat kejadian, 26 Desember 2004, SBY sedang berada di
Papua setelah habis memberi bantuan korban gempa di Nabire Papua.
Sementara informasi tentang
kondisi Aceh sangat minim ; setetes demi
setetes namun kualitasnya tidak jelas dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya,
karena lebih banyak bersifat perkiraan, dan
setiap informasi baru selalu lebih buruk dari informasi sebelumnya.
Menghadapi kegelapan informasi
(information blackout) banyak pembatunya menyarankan untuk ke Jakarta lebih
dahulu karena kondisi Aceh tidak menentu. Namun SBY sebagai seorang pemimpin
menunjukkan keputusan yang berbeda. “Ini keadaan yang serius, dan bisa menjadi
krisis nasional, oleh karena itu saya harus segara ke depan”.
Presiden SBY segera menugaskan
Sekretaris Militer untuk mengatur penerbangan dari Jayapura ke Aceh. Rapat Kabinet darurat segera digelar malam
itu juga di kediaman Gubernur Papua. Esok paginya SBY segera terbang dari
Jayapura langsung ke Aceh. Memberi perhatian mendasar pada pemimpin daerah,
Gubernur, Pangdam, Kapolda Aceh beserta
seluruh komponen organisasinyan tentang tugas-tugas dan penanganan tanggap
darurat bencana.
Karena pesawatnya kecil, harus
transit di Makasar dan Batam untuk mengisi bahan bakar. Sore hari SBY sampai di
Lhokseumawe. Dibandara segera meminta laporan dari Gubernur, Pangdam dan
Kapolda. SBY segera mengeluarkan instruksi yang bersifat operasional untuk
melakukan langkah-langkah tanggap darurat. Intinya penyelamatan jiwa penduduk, perawatan
korban, SAR, dan bantuan pangan. SBY tidak tidur malam itu. Nalurinya sebagai
Jenderal mendorong perintah cepat dan merencanakan strategi dan aksi penanganan
bencana yang luar biasa ini.
Pertama, SBY dapat melihat
sendiri skala kematian dan kerusakan akibat gempa dan tsunami. SBY melihat
sendiri mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan, penderitaan luar biasa ribuan
rakyat Aceh yang masih hidup namun kehilangan keluarga dan rumahnya. SBY
melihat sendiri Aceh lumpuh total, dari segi komunikasi, transportasi, listrik,
bensin, pelayanan masyarakat, infrastruktur, dan lain sebagainya. Dengan berada
‘didepan’ kondisi penderitaan yang luar biasa ini benar-benar masuk ke sukma
SBY. Pemahaman seperti itu tidak mungkin didapat SBY kalau hanya membaca laporan
tertulis atau mendengar paparan lisan di Istana.
Kedua, kehadiran SBY sebagai
Presiden berdampak mengangkat semangat petugas di lapangan yang waktu itu
sangat terpukul, baik karena kehilangan keluarganya, rekan-rekan mereka, maupun
karena mata rantai komando yang tercerai berai. Ketiga, walaupun siaran radio,
televisi, dan telepon lumpuh, kehadiran SBY penting untuk menunjukkan kepada
rakyat Aceh bahwa pemerintah pusat memberiikan perhatian penuh dan dukungan
total untuk membantu mereka keluar dari bencana ini.
Keempat, keberadaan SBY di garis
‘depan’ menurut Dino Patti Jalal menungkinkan SBY membuat penilaian yang
diperlukan untuk menentukan rencana aksi Pemerintah Pusat, terutama operasi
tanggap darurat. Sampai di Jakarta SBY langsung menggelar rapat kabinet darurat
dimana SBY memberi instruksi yang tepat, jelas, praktis, dan responsif terhadap
kondisi aktual di lapangan: mengirim bantuan TNI dan Polri untuk operasi
penyelamatan dan tanggap darurat, mengirim KRI ke Meulaboh, dan Hercules ke
Banda Aceh, mencari ribuan kantong jenazah; mencari kuburan missal untuk
jenazah yang ditemukan, mengirim BBM, makanan dan air bersih; menghidupkan
kembali listrik dan jalur telepon; menentukkan jumlah tenda yang dibutuhkan
untuk pengungsi; mengirim dokter tambahan; mengirim truk ke Medan; dan lain
sebagainya.
SBY tahu misi yang paling penting
dan mendesak adalah penyelamatan nyawa orang. Yang selamat harus ditolong, yang
sakit harus segera dirawat, yang kehilangan rumah harus segera ditampung, yang
meninggal harus seger dikubur. Semua yang beruntung hidup harus diberikan
makanan, air bersih dan obat-obatan. SBY Segera mengerahkan TNI dan Polri untuk
secara maksimal menjadi juru operasi tanggap darurat. Kapal serta pesawat
Hercules yang membawa personil, peralatan dan barang segera berangkat ke Banda
Aceh., Meulaboh dan Medan. Menko Kesra Alwi Shihab yang ditugaskan SBY untuk
terus tinggal di Aceh, memimpin langsung satuan Koordinasi Pelaksana
(Satkorlak) yang baru dibentuk.
Ketika semua perangkat sudah
berangkat ke Aceh, ternyata kondisi lapangan sangat parah, bantuan, petugas dan
dokter-dokter sulit bergerak karena jalan-jalan dan jembatan hancur. Sementara
untuk mencari satu truk saja sulitnya luar biasa. Semua kendaraan di Aceh
hancur terkena musibah tsunami.
SBY segera mengambil keputusan
yang sangat strategis untuk menangani krisis tsunami; membuka Aceh secara total
pada dunia luar, baik militer maupun LSM. Tanggal 29 Desember 2004, Pemerintah
Indonesia mengumumkan ‘open sky policy’ untuk Aceh dan Nias. Setelah itu, di
Meulaboh tanggal 31 Desember 2004, SBY melalui media nasional dan internasional
menghimbau dunia agar menunjukkan ‘solidaritas global’terhadap para korban
tsunami, bukan hanya di Indonesia, namun juga di negara-negara lain di sekitar
Samudera India. Kebijakan baru ini, karena tidak ada istilah baku, dapat
disebut sebagai ‘open door policy’.
Dengan kebijakan itu, Aceh
menjadi terbuka untuk segala pesawat dan kapal negara sahabat yang bertujuan
membantu tsunami. Hal ini berlaku bagi militer maupun LSM internasional.
Pekerja kemanusiaan dari manapun kini bisa masuk ke Aceh tanpa visa. Wartawan
juga bebas keluar masuk, karena SBY ingin dunia melihat dan merasakan
penderitaan rakyat di Aceh dan Nias.
Keputusan open door policy ini
bukan keputusan yang mudah. Pertama, kebijakan ini diterapkan di Provinsi
yang-setelah 30 tahun dirundung konflik-dikenal ‘tertutup’ dibanding provinsi
Indonesia lainnya. Kedua, sepanjang sejarah Republik Indonesia, belum pernah
ada pasukan internasional yang masuk dan beroperasi di wilayah Indonesia.
Ketiga, TNI belum berpengalaman
mengatur operasi militer kemanusiaan seperti ini. TNI sudah sering melakukan
latihan gabungan dengan militer negara sahabat, namun tidak pernah melakukan
operasi kemanusiaan besr-besaran dalam skala internasional seperti ini.
Keempat, kehadiran pasukan asing dapat menimbulkan resiko politik di dalam
negeri, karena rakyat dan elit politik tidak biasa melihat pasukan asing di
bumi Indonesia.
SBY memahami sekali semua hal
ini, namun ia berfikir sangat jernih dan sangat fokus pada misi, yakni untuk
meyelamatkan rakyat, bukan berpolitik. Semua dilakukan dibawah koordinasi
mantan Menko Kesra Alwi Shihab, dibantu Letjen Bambang Darmono (Mayjen pada
saat itu), sama seperti SBY, dilapangan kedua tokoh ini juga dipaksa keadaan
untuk selalu improved style untuk think outside the box, karena sepanjang
karirnya, mereka tidak pernah menghadapi krisis seperti itu.
2. Mengubah Krisis Menjadi Peluang; Perdamaian Baru Dengan GAM
Jenderal Charles De Gaulle,
pemimpin legendaris Perancis dalam buku “Sword of Power”, menyatakan pemimpin
harus mempunyai intelek, namun lebih penting lagi, ia harus mempunyai naluri, semacam indera
keenam untuk membaca situasi yang tidak terbaca orang awam.
Menurut Dino, SBY sering
bertindak mengikuti naluri politiknya, yang anehnya hampir selalu benar. Begitu
juga tentang bencana tsunami Aceh, SBY diam-diam melihat satu peluang.
Mungkinkah tsunami mengakibatkan perdamaian, mungkinkah penderitaan rakyat yang
begitu luar biasa menciptakan dorongan moral dan politik untuk mengakhiri
konflik yang sudah 30 tahun membara di Aceh, mungkinkah dimulai perundingan
baru dengan GAM. Pertanyaan teoritis yang menarik, namun dari segi politik
praktis sangat berat.
SBY memahami sekali bahwa masalah
utama untuk memulai kembali perundingan adalah lemahnya kepercayaan antara
kedua belah pihak, terutama karena sejarah perundingan dan kesepakatan antara
pemerintah dan GAM yang beberapa kali kandas. Disinilah SBY terlihat ciri kepemimpinan
yang penting; selalu berfikir ke depan, selalu mencari peluang dan solusi,
selalu memetik pelajaran dari masa lalu.
Awal januari SBY berhasil
melakukan kontak per telepon dengan komandan GAM di Aceh, Muzakkir Manaf. Dari
pembicaraan itu, SBY mendapat kesimpulan penting; akibat bencana tsunami, AGAM
sebenarnya bersedia mengakhiri konflik, namun harus ada instruksi dari pimpinan
politik mereka di luar negeri. Jelas sudah, untuk ke depan, kuncinya adalah
pemimpin poltik GAM di luar negeri; Hasan Di Tiro, Malik Mahmud, Zaini
Abdullah.
Setelah melakukan perundingan
berkali-kali, maka tanggal 5 Agustus 2005, pada perundingan ronde ke-5
ditandatanganilah MoU Helsinki oleh wakil Pemerintah RI Hamid Awaluddin dan
wakil GAM, Malik Mahmud. Sejak itu Aceh
membuka lembaran sejarah baru; lembaran damai dan rekonsiliasi.
G. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang sudah
disampaikan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah
sebagai berikut :
1. Kemampuan SBY, Krisis Aceh dan Perdamaian Dengan GAM
Sebagai pemimpin SBY mampu
menjadikan dan mengubah krisis menjadin peluang dengan tercapainya perdamaian
di Aceh, yang telah berkonflik dengan Pemerintah Indonesia selama kurun waktu
30 tahun terakhir, dan belum ada satu Presiden-pun yang mampu menanganinya.
SBY mampu mengambil kebijakan
yang tidak populer, justru pada saat dimana semuanya masih terpaku dengan
bencana tsunami, SBY mulai berfikir mengenai peluang perdamaian. Pada saat
dimana elit politik sangat alergi terhadap GAM, SBY justru mengambil resiko,
mempertaruhkan kredibiltasnya, menempuh proses perdamaian baru dengan GAM.
Perlu diketahui, bahwa pada waktu
itu, Cessation of Hostilities agreement (COHA) yang difasilitasi oleh Henry
Dunant Center untuk perundingan Pemeritah RI-GAM sudah 20 bulan ambruk, dan
semenjak itu di Aceh diberlakukan Darurat Sipil. Secara politis prospek
berunding lagi dengan GAM tidak lagi populer di mata elit politik dan sebagian
masyarakat.
Pada saat elit politik masih
penuh keraguan, SBY justru melangkah maju dengan keyakinan mendobrak dinding
konflik. Pendeknya, SBY dengan mendengarkan nalurin politikny, memanfaatkan
peluang, mengambil resiko dan mengukir sejarah. Sejarah pasti mencatat ada anak
bangsa yang ikut membuat sejarah, SBY, JK, Endriartono Sutarto, Hamid
Awalluddin, dan sejumlah pelaku lainnya.
Akibat dari perdamaian Aceh,
pamor Indonesia melambung dan kredibilitas Indonesia sebagai negara demokrasi
mapan yang mampu menyembuhkan konflik internal meningkat pesat. Tahun itu juga,
Presiden SBY dicalonkan sebagai salah satu kandidat Nobel Perdamaian.
2. Kemenangan Demokrat Pada Pemilu 2009
Meski pada tahun 2008, banyak
kalangan menyatakan berdasar hasil survei popularitas SBY merosot, begitu juga
dengan perolehan suara Partai Demokrat diperkirakan bakal turun hanya mencapai
sekitar 9,6 persen menurut survei Indo Barometer, begitu juga dengan survei LSI
Denny JA serta survei CSIS. Posisi Partai Demokrat hanya menempati urutan
ketiga setelah PDI-P dan Pertai Golkar, namun pada kenyataannya, hasil Pemilu
Legislatif tahun 2009, Partai Demokrat mampu mencapai kemenangan yang
fenomenal. Dengan perolehan suara sebesar 150 kursi Di DPR RI dan mendapat
suara sebesar 20,85 persen naik hampir tiga kali lipat perolehan suara pada
Pemilu 2004 sebesar 7,45 persen. Bahkan SBY-Budiono mampu menang satu putaran
dan memperoleh suara sebesar 60,80 persen pada Pilpres 2009.
Menurut pengamat politik Doddy
Ambardi, ada tiga faktor yang menyebabkan perolehan suara Partai Demokrat di
Pemilu Legislatif jauh meninggalkan Partai Golkar dan PDI-P. pertama, citra
tokoh sentral yaitu SBY sangat bagus, SBY adalah Ketua Dewan Pembina Demokrat
dan sekaligus Roh partai itu. Citra yang baik itu diikuti popularitas yang
melebihi tokoh lain. Itulah kekuatan mereka dalam memobilisasi massa pemilih.
Hasilnya sangat bagus, bahkan, melampaui dukungan terhadap Partai Demokrat
sendiri. Dukungan kepada SBY dua kali lipat daripada dukungan kepada partainya
sendiri.
Kedua, Partai Demokrat
diuntungkan oleh posisi SBY yang menjadi incumbent. Posisi ini, mempunyai
pengaruh besar untuk memikat pemilih. Karena bisa mengklaim program pemerintah
jadi program mereka. Jadi semacam penyederhanaan program. Yang ketiga, kampanye
yang terus menerus dilakukan Partai Demokrat memperluas jangkauan pemilih
partai itu.
Daftar Pustaka:
http://m.kompasiana.com/alisodikin/kepemimpinan-sby-pada-bencana-tsunami-perdamaian-aceh-dan-kemenangan-partai-demokrat-pada-pemilu-2004-dan-2009_552e2f236ea8348a198b4577
Tidak ada komentar:
Posting Komentar